Minggu ini memasuki minggu kedua mengikuti pelatihan. Di minggu lalu banyak hal yang saya dapatkan
dan bersyukur sekali bisa bertemu penulis-penulis hebat dan juga diajarkan oleh
motivator-motivator nasional. Mereka
memberikan inspirasi dan motivasi untuk menulis. Untuk kegiatan hari ini
Senin, 4 Mei 2020, Drs. Ukim Komarudin, M.Pd, Penulis Buku “Guru Juga Manusia”,
dengan materi terkait pengalaman menulis buku di penerbit mayor adalah pembicara pertama di minggu ini. Banyak
pengalaman yang dibagikan dan itu sangat menginspirasi terutama bagi saya penulis baru yang masih belajar
dan mencoba menapak sedikit demi sedikit.
Saya selalu merasa “amazing” bagi para penulis yang sampai mampu menerbitkan buku
atau menulis di media-media nasional. Perjalanan mereka memasuki dunia menulis
selalu dimulai dari hal kecil dan sederhana tetpai terus ditekunan, dan
hasilnya mereka dapatkan. Saya berharap suatu saatpun saya bisa seperti itu.
Ada nama yang terukir di lembaran-lembaran kertas.
Materi yang disampaikan oleh Bapak Ukim adalah
sharing apa yang beliau lakukan saat di sekolah menulis “diary” dan dikumpulkan terus sampai akhirnya bisa menjadi buku.
Beliau aktif di buletin sekolah juga. Yang pada akhirnya terus berkembang dan
berkembang. Sederhana dan terus dilakukan sampai menghasilkan buah.
Terimakasih buat sharingnya Pak, angat memberkati, memberi memotivasi dan
menginspirasi saya untuk tidak berhenti
belajar menulis. Suatu saat pasti akan ada jalan dibukakan bagi tulisan-tulisan
saya.
Sharing
Narasumber
Menulis merupakan ekspresi pribadi oleh
karena itu sangat penting bagi penulis memiliki tempat mencurahkan segala kegelisahan
atau apapun bentuknya. Lalu saya menemukan menulis adalah sarana yang tepat
buat saya. Saya tak pernah merasa khawatir, terkait dengan kualitas tulisan
saya. Saya juga tidak perduli dengan
ragam atau apa yang menjadi trend di masyarakat. Pokoknya menulis. Menulis
adalah kebutuhan. Saya merasa menemukan lebih tentang "saya" dengan
menulis. Demikian hal itu terus berjalan hingga jika tidak dilakukan seperti
ada sesuatu yang hilang. Demikianlah saya menulis dengan jujur, sejujur-jujurnya.
Apa adanya.
Saya mencoba membukukan
tulisan-tulisan saya yang selama ini merekam semua kejadian karena saya memang
senang membuat buku harian. Ada beragam kejadian, tetapi tema besarnya, yang
saya tuliskan merupakan pelajaran seorang dewasa (guru) dari anak-anak
"cerdas" yang menjadi siswanya. Oleh karena tulisan itu beragam
kejadian, beragam waktu, dan dari beragam tokoh, maka saya menuliskan judul
buku tersebut, "Menghimpun yang Berserak." Sebuah usaha untuk mengumpulkan
segenap mutiara yang berserakan dalam kehidupan yang sangat bermanfaat bagi
saya, dan semoga bermanfaat pula buat orang lain (pembaca).
Demikianlah waktu itu, saya yang
kebetulan menjadi penanggung jawab penerbitan buku di sekolah menyisipkan karya
pribadi, selain karya bersama (berlima) menulis dan berupaya buku mata
pelajaran. Saya diinterview terkait dua bagian buku. Pertama, buku bersama
yakni buku mata pelajaran. Kedua, buku pribadi saya, "Menghimpun yang
Berserak." Dalam kesempatan interview itulah saya banyak mendapatkan
pengetahuan terkait tips dan trik menerbitkan buku.
Saya banyak mendapatkan pelajaran
menyangkut hal-hal yang tadinya tidak saya pikirkan. Pelajaran atau informasi
itu awalnya, membuat saya tidak nyaman karena menabrak prinsip menulis saya.
Umpamanya, "Apakah ketika saya
menulis buku"menghimpun yang Berserak" ini sudah memperkirakan akan
laku di pasaran?" Kalau sudah ada,
apakah buku saya punya nilai tambah sehingga pembaca melirik dan membeli
buku saya? Untuk kepentingan pasar, "Apakah saya bersedia apabila beberapa
hal terjadi penyesuaian (diganti)? dst. Terus terang, saya merasa kurang nyaman
dengan interview itu. Saya merasa diam-diam mulai "dipenjara". Inikan
ekspresi pribadi saya, mengapa orang lain bisa mengatur hal-hal yang sangat
privasi? Menyebalkan! Begitu, oleh-oleh pulang dari interview.
Jujur, ada jarak agak lama berselang
setelah kejadian itu. Saya menganggap perlu waktu untuk menjernihkan pikiran.
Untunglah manusia itu punya sahabat. Saya menceritakan permasalahan yang saya
rasakan kepada teman yang sudah menjadi penulis "beneran". Hebatnya,
beliau menceritakan bahwa pengalaman yang saya dapatkan itu baik dan mestinya
disyukuri. Ia kemudian menjelaskan tentang proses menulis yang melibatkan tim
agar tulisan yang kita buat sampai kepada pembaca. Ia menyudutkan saya dengan
mengatakan bahwa sikap saya menyebabkan tulisan saya hanya untuk sendiri. kalau
pun nanti ada yang membaca itu hanya segelintir orang saja. Itu berarti, saya
minimal dalam memberi manfaat buat orang lain atau istilah lainnya saya egois.
Saya yang tersadar mendapatkan ilmu
pengetahuan lebi ketika beliau menjelaskan tentang tim yang akan menyebabkan
karya saya dapat dinikmati orang banyak. Beliau menjelaskan bahwa yang menanyai
saya itu mungkin editor. sebab, beliaulah garda depan yang menentukan naskah
itu layak diterbitkan atau sebaliknya. Menurut teman saya itu, naskah saya
sepertinya punya potensi atau
"layak" untuk diterbitkan. Tetapi sebagai pemula, karya saya memang
harus dipoles di sana sini.
Jika nanti naskah itu bisa melewati
editor, maka proses "menjadi" memang mengalami banyak hal. Ada bagian
gambar sampul, ilustrasi, photo jika diperlukan, tata letak, dan lainnya. Yang
jelas, semuanya merupakan tim saya. Kasarnya, semuanya akan menyukseskan saya,
begitu teman saya meyakinkan saya.
Oleh-oleh itulah yang menyebabkan saya
menindaklanjuti pertemuan dengan penerbit. Selain hal-hal yang umum tentang
buku mata pelajaran yang ditulis bersama, saya mengkhususkan pikiran ke buku
"Menghimpun yang berserak". Yang menenangkan, editor menceritakan
bahwa semua hal menangkut buku saya selalu dalam konfirmasi. Artinya, semuanya
akan terjadi jika saya setuju.
Demikianlah saya menjelani proses,
hingga akhirnya ada proses sebelum naik cetak,
yang sangat penting dalam proses kreatif saya, yakni menerima dami atau
calon buku yang sama persis jika akhirnya bisa dicetak. Saya gembira sekali
menerima buku dami itu. Terus terang saking gembiranya, saya menandatangi saja
kontrak kerjasama tanpa membaca persentase yang kelak saya terima. Diduga sikap
itu bukan sembrono, tetapi karena memang saya menulis bukan untuk hal tersebut.
Akhirnya, saya mendapat konfirmasi
ketika saya dapat kabar bahwa ada meeting terkait dengan terbitnya buku saya.
Pertama, saya menerima buku pribadi, kalau tidak salah jumlahnya hanya 5 buku.
Buku tersebut berstempel tidak diperjual belikan. Kedua, saya diajak bicara
terkait dengan teknis launching Buku "Menghimpun yang Berserak". Ini
soal bagaimana membuat buku saya laku. Saat itu saya sangat bodoh dan kurang
dapat memberikan masukan hyang berarti. Ketiga, saya diberitahu bahwa penerbit
menerbitkan jumlah yang diterbitkan pada penerbitan pertama ini dan kurang
lebih 6 bulan kemudian saya baru akan mendapat royaltinya. Untuk tersebut juga
saya tidak pandai memberi masukan.
Peran saya kemudian adalah
mengusahakan buku saya dapat dinikmati orang lain. Kala itu agak sulit karena
media sosial belum sedasyat sekarang. kebetulan saya pembicara, saya berupaya
menjual buku-buku saya pada kesempatan bicara tersebut.Ada beberapa kejadian
menerbitkan buku kembali, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga yang
menjelang terakhir buku, "Arief Rachman Guru". Semuanya mirip-mirip
pengalaman dengan penerbit.
Kesimpulan
Untuk dipercaya oleh penerbit mulailah membuka tulisanmu untuk
dibaca banyak orang, mungkin itu hanya artikel-artikel di buletin atau mading
atau facebook, instagram. setia dalam menulis sampai akhirnya kualitas
tulisanmu layak dibaca oleh banyak orang.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar