Selasa, 05 Mei 2020

Pengalaman Menulis di Penerbit Mayor

Minggu ini memasuki minggu kedua mengikuti pelatihan.  Di minggu lalu banyak hal yang saya dapatkan dan bersyukur sekali bisa bertemu penulis-penulis hebat dan juga diajarkan oleh motivator-motivator nasional. Mereka  memberikan inspirasi dan motivasi untuk menulis. Untuk kegiatan hari ini Senin, 4 Mei 2020, Drs. Ukim Komarudin, M.Pd, Penulis Buku “Guru Juga Manusia”, dengan materi terkait pengalaman menulis buku di penerbit mayor adalah pembicara pertama di minggu ini. Banyak pengalaman yang dibagikan dan itu sangat menginspirasi  terutama bagi saya penulis baru yang masih belajar dan mencoba menapak sedikit demi sedikit.

Saya selalu merasa “amazing” bagi para penulis yang sampai mampu menerbitkan buku atau menulis di media-media nasional. Perjalanan mereka memasuki dunia menulis selalu dimulai dari hal kecil dan sederhana tetpai terus ditekunan, dan hasilnya mereka dapatkan. Saya berharap suatu saatpun saya bisa seperti itu. Ada nama yang terukir di lembaran-lembaran kertas.

Materi yang disampaikan oleh Bapak Ukim adalah sharing apa yang beliau lakukan saat di sekolah menulis “diary” dan dikumpulkan terus sampai akhirnya bisa menjadi buku. Beliau aktif di buletin sekolah juga. Yang pada akhirnya terus berkembang dan berkembang. Sederhana dan terus dilakukan sampai menghasilkan buah.

Terimakasih buat sharingnya Pak, angat memberkati, memberi memotivasi dan menginspirasi  saya untuk tidak berhenti belajar menulis. Suatu saat pasti akan ada jalan dibukakan bagi tulisan-tulisan saya.

Sharing Narasumber

Menulis merupakan ekspresi pribadi oleh karena itu sangat penting bagi penulis memiliki tempat mencurahkan segala kegelisahan atau apapun bentuknya. Lalu saya menemukan menulis adalah sarana yang tepat buat saya. Saya tak pernah merasa khawatir, terkait dengan kualitas tulisan saya. Saya juga tidak perduli  dengan ragam atau apa yang menjadi trend di masyarakat. Pokoknya menulis. Menulis adalah kebutuhan. Saya merasa menemukan lebih tentang "saya" dengan menulis. Demikian hal itu terus berjalan hingga jika tidak dilakukan seperti ada sesuatu yang hilang. Demikianlah saya menulis dengan jujur, sejujur-jujurnya. Apa adanya.

Saya mencoba membukukan tulisan-tulisan saya yang selama ini merekam semua kejadian karena saya memang senang membuat buku harian. Ada beragam kejadian, tetapi tema besarnya, yang saya tuliskan merupakan pelajaran seorang dewasa (guru) dari anak-anak "cerdas" yang menjadi siswanya. Oleh karena tulisan itu beragam kejadian, beragam waktu, dan dari beragam tokoh, maka saya menuliskan judul buku tersebut, "Menghimpun yang Berserak." Sebuah usaha untuk mengumpulkan segenap mutiara yang berserakan dalam kehidupan yang sangat bermanfaat bagi saya, dan semoga bermanfaat pula buat orang lain (pembaca).

Demikianlah waktu itu, saya yang kebetulan menjadi penanggung jawab penerbitan buku di sekolah menyisipkan karya pribadi, selain karya bersama (berlima) menulis dan berupaya buku mata pelajaran. Saya diinterview terkait dua bagian buku. Pertama, buku bersama yakni buku mata pelajaran. Kedua, buku pribadi saya, "Menghimpun yang Berserak." Dalam kesempatan interview itulah saya banyak mendapatkan pengetahuan terkait tips dan trik menerbitkan buku.

Saya banyak mendapatkan pelajaran menyangkut hal-hal yang tadinya tidak saya pikirkan. Pelajaran atau informasi itu awalnya, membuat saya tidak nyaman karena menabrak prinsip menulis saya. Umpamanya, "Apakah ketika  saya menulis buku"menghimpun yang Berserak" ini sudah memperkirakan akan laku di pasaran?" Kalau sudah ada,  apakah buku saya punya nilai tambah sehingga pembaca melirik dan membeli buku saya? Untuk kepentingan pasar, "Apakah saya bersedia apabila beberapa hal terjadi penyesuaian (diganti)? dst. Terus terang, saya merasa kurang nyaman dengan interview itu. Saya merasa diam-diam mulai "dipenjara". Inikan ekspresi pribadi saya, mengapa orang lain bisa mengatur hal-hal yang sangat privasi? Menyebalkan! Begitu, oleh-oleh pulang dari interview.

Jujur, ada jarak agak lama berselang setelah kejadian itu. Saya menganggap perlu waktu untuk menjernihkan pikiran. Untunglah manusia itu punya sahabat. Saya menceritakan permasalahan yang saya rasakan kepada teman yang sudah menjadi penulis "beneran". Hebatnya, beliau menceritakan bahwa pengalaman yang saya dapatkan itu baik dan mestinya disyukuri. Ia kemudian menjelaskan tentang proses menulis yang melibatkan tim agar tulisan yang kita buat sampai kepada pembaca. Ia menyudutkan saya dengan mengatakan bahwa sikap saya menyebabkan tulisan saya hanya untuk sendiri. kalau pun nanti ada yang membaca itu hanya segelintir orang saja. Itu berarti, saya minimal dalam memberi manfaat buat orang lain atau istilah lainnya saya egois.

Saya yang tersadar mendapatkan ilmu pengetahuan lebi ketika beliau menjelaskan tentang tim yang akan menyebabkan karya saya dapat dinikmati orang banyak. Beliau menjelaskan bahwa yang menanyai saya itu mungkin editor. sebab, beliaulah garda depan yang menentukan naskah itu layak diterbitkan atau sebaliknya. Menurut teman saya itu, naskah saya sepertinya  punya potensi atau "layak" untuk diterbitkan. Tetapi sebagai pemula, karya saya memang harus dipoles di sana sini.

Jika nanti naskah itu bisa melewati editor, maka proses "menjadi" memang mengalami banyak hal. Ada bagian gambar sampul, ilustrasi, photo jika diperlukan, tata letak, dan lainnya. Yang jelas, semuanya merupakan tim saya. Kasarnya, semuanya akan menyukseskan saya, begitu teman saya meyakinkan saya.

Oleh-oleh itulah yang menyebabkan saya menindaklanjuti pertemuan dengan penerbit. Selain hal-hal yang umum tentang buku mata pelajaran yang ditulis bersama, saya mengkhususkan pikiran ke buku "Menghimpun yang berserak". Yang menenangkan, editor menceritakan bahwa semua hal menangkut buku saya selalu dalam konfirmasi. Artinya, semuanya akan terjadi jika saya setuju.
Demikianlah saya menjelani proses, hingga akhirnya ada proses sebelum naik cetak,  yang sangat penting dalam proses kreatif saya, yakni menerima dami atau calon buku yang sama persis jika akhirnya bisa dicetak. Saya gembira sekali menerima buku dami itu. Terus terang saking gembiranya, saya menandatangi saja kontrak kerjasama tanpa membaca persentase yang kelak saya terima. Diduga sikap itu bukan sembrono, tetapi karena memang saya menulis bukan untuk hal tersebut.

Akhirnya, saya mendapat konfirmasi ketika saya dapat kabar bahwa ada meeting terkait dengan terbitnya buku saya. Pertama, saya menerima buku pribadi, kalau tidak salah jumlahnya hanya 5 buku. Buku tersebut berstempel tidak diperjual belikan. Kedua, saya diajak bicara terkait dengan teknis launching Buku "Menghimpun yang Berserak". Ini soal bagaimana membuat buku saya laku. Saat itu saya sangat bodoh dan kurang dapat memberikan masukan hyang berarti. Ketiga, saya diberitahu bahwa penerbit menerbitkan jumlah yang diterbitkan pada penerbitan pertama ini dan kurang lebih 6 bulan kemudian saya baru akan mendapat royaltinya. Untuk tersebut juga saya tidak pandai memberi masukan.

Peran saya kemudian adalah mengusahakan buku saya dapat dinikmati orang lain. Kala itu agak sulit karena media sosial belum sedasyat sekarang. kebetulan saya pembicara, saya berupaya menjual buku-buku saya pada kesempatan bicara tersebut.Ada beberapa kejadian menerbitkan buku kembali, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga yang menjelang terakhir buku, "Arief Rachman Guru". Semuanya mirip-mirip pengalaman dengan penerbit. 

Kesimpulan

Untuk dipercaya oleh penerbit mulailah membuka tulisanmu untuk dibaca banyak orang, mungkin itu hanya artikel-artikel di buletin atau mading atau facebook, instagram. setia dalam menulis sampai akhirnya kualitas tulisanmu layak dibaca oleh banyak orang. 
















Tidak ada komentar:

Posting Komentar